Monday, 21 March 2016

Kebudayaan Bercorak Islam

Assalamu’alaikum wr. wb.
Ciaoooo, gaez! Semoga sehat selalu ya, biar bisa nikmatin hidup ini dengan maksimal.




Sekarang gue mau berbagi informasi tentang kebudayaan. But first, gue mau ngasih tau dikit. Jadi, emak-bapak gue kan beda suku ya. Emak gue (biasa dipanggil umi-red) itu suku Jawa. Sedangkan bapak gue (biasa dipanggil abi-red) orang Makassar yang lahir dan tinggal di Lombok. Jadinya bisa dianggap orang dari suku Sasak(?)
Di rumah gue, gue rasa sih, pengaruh suku Jawa dan Sasak seimbang. Anak emak bapak gue ada 4. 2 mirip bapak gue, 2 mirip emak gue. Kita tinggal sama nenek dari emak gue, yang dimana beliau sangat Jawa sekali. Sedangkan mbak gue (PRT-red) itu orang asli suku Sasak. Walaupun gue tinggal di pulau Jawa, tapi gue gak jarang main ke Lombok. Jadi, gue menyimpulkan gaada suku dominan di keluarga gue dan gue mau cerita tentang kebudayaan bercorak Islam dari masing-masing suku. Check it out, gaez.
1.      Mauludan (Suku Jawa)
Maulid Nabi Muhammad SAW kadang-kadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: مولد النبي, mawlid an-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad.
Sebagian masyarakat Muslim di dunia merayakan Maulid Nabi atau kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 12 rabiul awal dengan suka cita. Perayaan maulid nabi ini dirayakan di banyak negara dengan penduduk mayoritas Muslim di dunia serta negara lain yang memiliki komunitas muslim seperti India, Britania Raya, Rusia dan Kanada. Kendati dirayakan suka cita oleh semua umat muslim, pada hari Maulid Nabi di Negara Arab yang merupakan pusat Agama Islam, tidak ada libur nasional. Sebagian umat Islam menilai maulid nabi seharusnya dijadikan sebagai cara introspeksi diri dengan menepi atau beribadah lebih khusyuk lagi.
Sementara di Indonesia, Maulid Nabi, diperingati dengan berbagai acara keagamaan seperti pengajian, salawatan, pembacaan syair Barzanji dan lainnya. Tak hanya milik umat muslim, perayaan ini juga milik masyarakat Jawa secara umum. Menurut penanggalan Jawa, bulan Rabiul Awal atau bulan Maulid Nabi disebut dengan Muludan. Masyarakat Solo mengenal dengan acara Muludan yang kemudian dirayakan dengan berbagai acara termasuk adanya gamelan sekaten.
Konon muludan ini awalnya dikenalkan pada masa kerajaan Demak oleh Walisongo kemudian dilanjutkan oleh keraton. Muludan digunakan sebagai cara dakwah Islam kepada masyarakat Jawa. Dengan pendekatan budaya, pihak keraton yakin Islam lebih mengena di hati masyarakat. Terbukti, tradisi Muludan yang juga disebut dengan Grebeg Muludan ini selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat Solo dan sekitarnya. Pada era sekarang tradisi Grebeg Muludan diadakan oleh Keraton Kasunanan dengan serangkaian acara mulai sekatenan, gamelan sekaten hingga di puncak acara digelar grebeg muludan.
Sekaten atau upacara sekaten berasal dari kata Syahadatain atau kalimat syahadad. Acara ini merupakan acara peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW yang diadakan setiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud atau Rabiul Awal. Acara diadakan di alun-alun utara Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Dulunya setelah Walisongo pada masa kerajaan Demak, Sultan Hamengkubuwana I, juga menggunakan tradisi ini sebagai media syiar agama Islam.
Upacara sekaten dibagi dalam beberapa hari. Hari pertama diadakan upacara malam hari diawali dengan iring-iringan abdi dalem yang membawa dua set gamelan Jawa yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendapa Ponconiti menuju masjid Agung di Alun-alun Utara dengan dikawal oleh prajurit Keraton.
Grebeg mulud ini merupakan puncak acara sekaten atau Muludan. Dua hari sebelum grebeg, diadakan acara tumplak wajik. Acara ini digelar di halaman istana Magangan pada pukul 16.00 sore. tumplak wajik merupakan acara kotekan atau permainan lagu dengan memakai kentongan, lumpang  dan lainnya. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu Jawa popular seperti  Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal Awil, dan lagu rakyat lainnya.
Sementara, acara puncak grebeg Muludan dimulai Pukul 08.00 WIB tanggal 12 Robiul Awal. Sebuah gunungan yang terbuat dari beras, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuran akan dibawa dari istana kerajaan Mataram kemudian dibagikan kepada masyarakat. Prosesi ini dikawal oleh 10 kompi prajurit keraton yang terdiri dari Wirabraja, Daeng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrijero, Surakarsa, dan Bugis.
Masyarakat percaya, bahwa Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah atau lading supaya terhindar dari malapetaka serta menyebabkan tanah menjadi subur untuk ditanami. Setelah dibawa dari keraton menuju alun-alun, gunungan ini biasanya langsung diserbu oleh masyarakat yang ingin mengambil dan membawanya pulang sebagai pembawa berkah.
Meski grebeg mulud telah berakhir, sekatenan ini masih terus berlanjut hingga akhir bulan dengan adanya malam sekatenan di alun-alun utara. Saat malam sekatenan ini alun-alun utara keraton disulap menjadi arena bermain anak-anak. Berbagai wahana bermain anak-anak tersedia. Para penjaja wahana ini berasal dari luar Solo. Tak hanya itu, mereka juga menyediakan makanan khas tradisional seperti onde-onde, jenang, dan lainnya. Banyak juga pedagang yang menjajakan gerabah serta pakaian. Malam sekaten ini menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat sekitar.
Di Solo, tradisi Grebeg Mulud ini sudah menjadi agenda rutin Pemkot Solo. Hampir setiap tahun acara ini selalu ada. Ribuan masyarakat memadati kompleks sekaten mulai awal di buka hingga selesai. Jumlahnya semakin meningkat saat puncak grebeg mulud.
2.      Lebaran Topat (Suku Sasak)
Tradisi Lebaran Ketupat di Lombok udah berlangsung turun-temurun semenjak ratusan tahun lalu, gaez. Selain dianggap sebagai rangkaian kegiatan untuk merayakan Idul Fitri, acara itujuga memiliki misi mempertahankan tradisi leluhur dan nenek moyang. Jika dikaji lebih mendalam, akan dijumpai banyak nilai-nilai yang terkandung dalam Lebaran Nine (wanita). Mulai dari nilai budaya, agama, hingga pesta kerakyatan.
Dari aspek agama misalnya, masyarakat / warga Sasak melaksanakan Perayaan Lebaran Ketupat dengan melakukan kegiatan-kegiatan ritual Keagamaan. Diantaranya adalah berziarah ke makam para wali /ulama terkenal yang telah berjasa membawa agama Islam ke Pulau Lombok. Di Kota Mataram, masyarakat biasanya akan datang merayakan Tradisi Lebaran Ketupat ke dua tempat bersejarah, yaitu Makam Bintaro dan Makam Loang Baloq di Tanjung Karang.
Pada kegiatan perayaan Lebaran Ketupat, Makam Loang Baloq yang berlokasi tepat di sebelah Pantai Tanjung Karang Mapak akan penuh sesak oleh peziarah sejak pukul 07.00 pagi. Selain memanjatkan doa, mereka juga berebutan untuk mencuci muka dan kepala dengan air di atas makam yang dianggap keramat tersebut. Sama halnya dengan situasi yang berlangsung di Makam Bintaro, dalam ziarah kubur, para peziarah sejatinya tidak hanya memanjatkan doa kepada sang Khalik, namun juga melakukan berbagai macam ritual keagamaan dan atraksi simbolik perayaan Tradisi Lebaran Ketupat. Diantaranya adalah mencukur rambut bayi yang biasa disebut ngurisan. Tradisi ini diyakini akan menjadikan anak tersebut anak yang saleh dan sukses di masa yang akan datang.
Tidak hanya sebatas itu, perayaan Lebaran Ketupat tersebut juga disebut menjadi haul bagi mereka yang telah mencapai kesuksesan atau rezeki yang lebih dalam hidupnya. Untuk mensyukuri nikmat Tuhan tersebut, mereka datang dengan membawa perbekalan berupa makanan berupa ketupat, pelalah ayam, daging, opor telur, pakis, paku, urap-urap, dan plecing kangkung yang kemudian dimakan beramai-ramai di area / halaman makam.
Menurut penuturan budayawan Sasak, H. Lalu Anggawa Nuraksi, dari aspek religius atau agama, Lebaran Topat mengandung makna bahwa di hari itu umat Muslim membelah hati dari segala sifat buruknya. Belah ketupat atau topat dianalogikan seperti membelah sebuah hati. “Sehingga orang Sasak harus melakukan belah topat di makam para wali,” katanya.
Perkembangan saat ini khususnya di Lombok, perayaan Lebaran Topat juga dikaitkan dengan kegiatan pariwisata atau pelesir. Pada saat Lebaran Topat warga berbondong-bondong menyerbu tempat-tempat wisata. Setelah selesai berziarah ke Makam, para pengunjung lalu berpindah ke jalur pantai, mulai Pantai Bintaro hingga ke Pantai Tanjung Karang. Anggawa mengatakan masyarakat boleh merayakannya dengan bersenang-senang asalkan tidak berlebihan. “Setelah ke makam boleh ke pantai tapi tidak boleh bertentangan dengan norma agama dan budaya,” ujarnya.
 Menyusuri tepi pantai sambil membawa hidangan ketupat yang diramu dan dibumbui dengan bahan-bahan segar ala Pulau Lombok menjadikan tradisi Lebaran Ketupat ini menjadi terlihat unik, ditambah lagi dengan berbagai pertunjukan musik tradisional yang diselenggarakan oleh Pemerintah dalam rangka upaya pelestarian budaya dan Tradisi.
Dalam kepercayaan masyarakat Sasak, ketupat sebagai hidangan wajib tidak boleh dibuka dengan menarik bungkus atau janurnya, tapi harus dibelah menggunakan pisau. Jika tetap membuka jalinan janur dari ketupat tersebut, orang Sasak bisa kepusaq (kesasar). Lebaran Topat juga bermakna sebagai wujud rasa syukur. Dapat juga diartikan dengan melebarkan taubat. Dituturkan Anggawa, konon dulu para wali yang melakukan syiar agama selalu membawa ketupat sebagai bekal utama.
Tradisi Lebaran Ketupat dan Perang Topat di LombokSelain wisata alam yang tersebar di berbagai penjuru, di Lombok juga terdapat banyak sekali wisata budaya, diantaranya adalah “TRADISI PERANG TOPAT” yang merupakan tradisi turun temurun yang mulai dilakukan sepeninggal penjajahan Bali di Lombok di masa lampau. Tradisi ini di lakukan dengan cara saling lempar dengan menggunakan ketupat antara Ummat Islam dan Ummat Hindu Lombok. Ketupat yang telah digunakan untuk berperang seringkali diperebutkan, karena dipercaya bisa membawa kesuburan bagi tanaman agar hasil panennya bisa maksimal. Kepercayaan ini sudah berlangsung ratusan tahun, dan masih terus dijalankan. Dengan menggunakan pakaian adat khas Sasak dan Bali ribuan warga Sasak dan umat Hindu bersama-sama dengan damai merayakan upacara keagamaan yang dirayakan tiap tahun di Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Tradisi Perang Topat yang diadakan di Pura terbesar di Lombok (peninggalan kerajaan Karangasem) ini merupakan pencerminan dari kerukunan umat beragama di Lombok. Prosesi Perang Topat dimulai dengan mengelilingkan sesaji berupa makanan, buah, dan sejumlah hasil bumi sebagai sarana persembahyangan dan prosesi ini didominasi masyarakat Sasak dan beberapa tokoh umat Hindu yang ada di Lombok. Sarana persembahyangan seperti kebon odek, sesaji ditempatkan didalam Pura Kemalik.
Prosesi kemudian dilanjutkan dengan perang topat, bertepatan dengan gugur bunga waru atau dalam bahasa Sasaknya “rorok kembang waru” yakni menjelang tenggelamnya sinar matahari sekitar pukul 17.30. Perang topat merupakan rangkaian pelaksanaan upacara pujawali yaitu upacara sebagai ungkapan rasa syukur umat manusia yang telah diberikan keselamatan, sekaligus memohon berkah kepada Sang Pencipta.
Dalam perayaan Lebaran Topat di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kita dapat mengetahui bahwa perayaan tersebut mengandung dua dimensi yaitu dimensi sakral dan sosial. Dimensi sakral berkaitan dengan persepsi dan pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan dimensi sosial berkaitan dengan upaya menjaga harmoni kehidupan antar sesama.      
Penggunaan ungkapan Lebaran Nine atau lebaran wanita terhadap Lebaran Topat menunjukkan bahwa Lebaran ini mempunyai posisi penting dalam ekspresi keislaman masyarakat Lombok. Lebaran Topat adalah pasangan Lebaran Mame (Idul Fitri). Oleh karena itu, perayaan Lebaran Topat agaknya mempunyai tujuan yang sama dengan Lebaran puasa Ramadhan. Yaitu untuk mencapai kehidupan yang fitri, suci.
Penggunaan ketupat yang berbentuk segi empat sebagai nama Lebaran dan menu makan utamanya merupakan khasanah kearifan lokal masyarakat untuk mengingatkan manusia terhadap asal muasalnya. Ketupat berbentuk segi empat menunjukkan bahwa manusia terdiri dari air, tanah, api dan angin.
Lebaran Topat juga bisa diartikan menjauhkan diri dari nafsu kebendaan dan membersihkan batin dari sikap dengki dan iri hati setelah nuraninya terjerembab oleh ego dan kemeriahan budaya materi yang semu. Ritual berseraup atau membasuh muka dengan air memberi makna bahwa tindakan tersebut merupakan cara untuk membersihkan kotoran yang melekat di wajah. Jika wajah dan hatinya bersih, maka orang itu tidak akan sakit baik secara fisik ataupun mental.



Sumber referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Maulid_Nabi_Muhammad#Perayaan_di_Indonesia
Well,  udah dulu ya, gaez….. Begitulah sedikit bagian dari kekayaan kebudayaan di Indonesia. Terimakasih telah meluangkan waktu untuk membaca. Semoga bermanfaat. Ciaooo!
Wassalamu’alaikum wr. wb.

Wednesday, 16 March 2016

Sunan Gunung Jati dan Fatahillah itu siapa?

Assalamu’alaikum wr. wb.
Ciao, gaeeeeeeeeeeeeeeeeeez! Come stai? Tau gak sih? Gue minggu lalu baru aja UTS. Kalo mau tau kabar nilai mtk gue, gue belom bisa ngasih tau. Tapi, gue sudah pasrah. Da aku mah apa.
                Nah, sekarang gue mau bahas tentang siapakah Fatahillah dan Sunan Gunung Jati itu? Orang yang samakah? Atau selintas sama namun nyatanya berbeda? Hmmm…

Pandangan sejarawan  yang mengatakan bila Fatahillah identik dengan Sunan Gunung Jati mempunyai pengaruh yang amat luas di kalangan sejarawan. Hampir semua kepustakaan yang ada mengenai sejarah Indonesia hingga 1970-an, khususnya sejarah Jakarta, Banten, dan Cirebon, masih menganggap tokoh Fatahillah identik dengan Sunan Gunung Jati.
Berdasarkan informasi dari buku Sunan Gunung Jati: Sekitar Komplek Makam dan Sekilas Riwayatnya karya Hasan Basyari, Fatahillah atau juga disebut Faletehan dan Syarif Hidayatullah merupakan sosok yang berbeda.
Syarif Hidayatullah adalah putri Nyi Rara Santang atau Syarifah Muda'im, puteri Prabu Siliwangi yang menikah dengan Maulana Ishaq Syarif Abdillah, penguasa kota Isma'illiyah Saudi Arabia. Mereka mempunyai dua putera, Syarif Nurullah yang melanjutkan kedudukan ayahnya sebagai Amir (penguasa) dan Syarif Hidayatullah yang bersama ibunya kembali ke tanah Jawa sepeninggal Maulana Ishaq Syarif Abdillah.
Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah seorang ulama besar dan muballigh yang lahir turun-temurun dari para ulama keturunan cucu Muhammad, Imam Husayn. Nama asli Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar adalah Musafir besar dari Gujarat, India yang memimpin putra-putra dan cucu-cucunya berdakwah ke Asia Tenggara, dengan Campa (pinggir delta Mekong, Kampuchea sekarang) sebagai markas besar. Salah satu putra Syekh Jamaluddin Akbar (lebih dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar) adalah Syekh Ibrahim Akbar (ayah Sunan Ampel).
Oleh Pangeran Cakrabuana yang menjadi penguasa Caruban, Syarif Hidayatullah diperkenankan tinggal di daerah pertamanan Gunung Sembung sambil mengajarkan agama Islam. Hingga akhirnya Pangeran Cakrabuana menikahkan Syarif Hidayatullah dengan putrinya, Nyi Ratu Pakungwati. Karena usianya yang sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana tahun 1479 menyerahkan kekuasaan kepada Syarif Hidayatullah. Sejak saat itulah Islam melalui Syarif Hidayatullah mulai berkembang pesat.
Fatahillah yang biasa disebut Faletehan atau Kyai Fathullah adalah seorang ulama dari Pasai Aceh. Ketika Pasai dan Malaka direbut Portugis, ia hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten) setelah gugurnya Raden Abdul Qadir bin Yunus (Pati Unus, menantu Raden Patah Sultan Demak pertama). Sekitar tahun 1525 ia ke Jepara dan menikah dengan Nyai Ratu Pembayun (adik Sultan Trenggana dari Demak).
Ia kemudian diangkat Raden Patah sebagai panglima pasukan Demak yang berangkat ke Sunda Kelapa bersama pasukan Cirebon menghadapi Portugis untuk mempertahankan pelabuhan Sunda Kelapa. Kemudian beliau bersama pasukannya menaklukkan daerah Banten dan Sunda Kalapa. Setelah kemenangan itu dan juga setelah Sultan Trenggana meninggal, Ratu Ayu yang merupakan putri Syarif Hidayatullah menikah dengan Fatahillah (Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual terbitan Kompas). Jadi bisa dikatakan Fatahillah merupakan menantu dari Syarif Hidayatullah.
Pada akhir 1990-an, Sultan Sepuh Cirebon pun mengkonfirmasikan perbedaan dua tokoh ini dengan menunjukkan bukti dua buah makam yang berbeda. Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati sebenarnya dimakamkan di Gunung Sembung (di kompleks makamnya, tertulis bahwa ia wafat tahun 1568), sementara Fatahillah (yang menjadi menantu beliau dan Panglima Perang pengganti Pati Unus) dimakamkan di Gunung Jati (tertulis di makamnya bahwa beliau wafat tahun 1570.

Jadi, saya berpendapat bahwa Sunan Gunung Jati dan Fatahillah merupakan dua sosok yang berbeda.



Udah dulu yaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa. Makasih udah baca post ini:p Ciao, gaez!
Wassalamu'alaikum wr. wb.






Sumber referensi:


Powered by Blogger.