Assalamu’alaikum wr. wb.
Sekarang gue mau berbagi informasi tentang kebudayaan. But
first, gue mau ngasih tau dikit. Jadi, emak-bapak gue kan beda suku ya.
Emak gue (biasa dipanggil umi-red) itu suku Jawa. Sedangkan bapak gue (biasa
dipanggil abi-red) orang Makassar yang lahir dan tinggal di Lombok. Jadinya
bisa dianggap orang dari suku Sasak(?)
Di rumah gue, gue rasa sih, pengaruh suku Jawa dan Sasak
seimbang. Anak emak bapak gue ada 4. 2 mirip bapak gue, 2 mirip emak gue. Kita
tinggal sama nenek dari emak gue, yang dimana beliau sangat Jawa sekali.
Sedangkan mbak gue (PRT-red) itu orang asli suku Sasak. Walaupun gue tinggal di
pulau Jawa, tapi gue gak jarang main ke Lombok. Jadi, gue menyimpulkan gaada
suku dominan di keluarga gue dan gue mau cerita tentang kebudayaan bercorak
Islam dari masing-masing suku. Check it out, gaez.
1. Mauludan (Suku Jawa)
Maulid Nabi Muhammad SAW kadang-kadang Maulid Nabi atau
Maulud saja (bahasa Arab: مولد
النبي, mawlid an-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad
SAW, yang di Indonesia perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal
dalam penanggalan Hijriyah. Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti
hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di
masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara subtansi,
peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi
Muhammad.
Sebagian masyarakat Muslim di dunia merayakan Maulid Nabi
atau kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 12 rabiul awal dengan suka cita. Perayaan
maulid nabi ini dirayakan di banyak negara dengan penduduk mayoritas Muslim di
dunia serta negara lain yang memiliki komunitas muslim seperti India, Britania
Raya, Rusia dan Kanada. Kendati dirayakan suka cita oleh semua umat muslim,
pada hari Maulid Nabi di Negara Arab yang merupakan pusat Agama Islam, tidak
ada libur nasional. Sebagian umat Islam menilai maulid nabi seharusnya
dijadikan sebagai cara introspeksi diri dengan menepi atau beribadah lebih
khusyuk lagi.
Sementara di Indonesia, Maulid Nabi,
diperingati dengan berbagai acara keagamaan seperti pengajian, salawatan,
pembacaan syair Barzanji dan lainnya. Tak hanya milik umat muslim, perayaan ini
juga milik masyarakat Jawa secara umum. Menurut penanggalan Jawa, bulan Rabiul
Awal atau bulan Maulid Nabi disebut dengan Muludan. Masyarakat Solo mengenal
dengan acara Muludan yang kemudian dirayakan dengan berbagai acara termasuk
adanya gamelan sekaten.
Konon muludan ini awalnya dikenalkan
pada masa kerajaan Demak oleh Walisongo kemudian dilanjutkan oleh keraton.
Muludan digunakan sebagai cara dakwah Islam kepada masyarakat Jawa. Dengan
pendekatan budaya, pihak keraton yakin Islam lebih mengena di hati masyarakat.
Terbukti, tradisi Muludan yang juga disebut dengan Grebeg Muludan ini selalu
ditunggu-tunggu oleh masyarakat Solo dan sekitarnya. Pada era sekarang tradisi
Grebeg Muludan diadakan oleh Keraton Kasunanan dengan serangkaian acara mulai
sekatenan, gamelan sekaten hingga di puncak acara digelar grebeg muludan.
Sekaten atau upacara sekaten berasal dari kata Syahadatain
atau kalimat syahadad. Acara ini merupakan acara peringatan hari lahir Nabi
Muhammad SAW yang diadakan setiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud atau Rabiul Awal.
Acara diadakan di alun-alun utara Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Dulunya
setelah Walisongo pada masa kerajaan Demak, Sultan Hamengkubuwana I, juga
menggunakan tradisi ini sebagai media syiar agama Islam.
Upacara sekaten dibagi dalam beberapa hari. Hari pertama
diadakan upacara malam hari diawali dengan iring-iringan abdi dalem yang
membawa dua set gamelan Jawa yaitu Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu.
Iring-iringan ini bermula dari pendapa Ponconiti menuju masjid Agung di
Alun-alun Utara dengan dikawal oleh prajurit Keraton.
Grebeg mulud ini merupakan puncak acara sekaten atau
Muludan. Dua hari sebelum grebeg, diadakan acara tumplak wajik. Acara ini
digelar di halaman istana Magangan pada pukul 16.00 sore. tumplak wajik
merupakan acara kotekan atau permainan lagu dengan memakai kentongan,
lumpang dan lainnya. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu Jawa
popular seperti Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal Awil, dan lagu
rakyat lainnya.
Sementara, acara puncak grebeg Muludan dimulai Pukul 08.00
WIB tanggal 12 Robiul Awal. Sebuah gunungan yang terbuat dari beras, makanan
dan buah-buahan serta sayur-sayuran akan dibawa dari istana kerajaan Mataram
kemudian dibagikan kepada masyarakat. Prosesi ini dikawal oleh 10 kompi
prajurit keraton yang terdiri dari Wirabraja, Daeng, Patangpuluh, Jagakarya,
Prawiratama, Nyutra, Ketanggung, Mantrijero, Surakarsa, dan Bugis.
Masyarakat percaya, bahwa Gunungan ini akan membawa berkah
bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan
ditanam di sawah atau lading supaya terhindar dari malapetaka serta menyebabkan
tanah menjadi subur untuk ditanami. Setelah dibawa dari keraton menuju
alun-alun, gunungan ini biasanya langsung diserbu oleh masyarakat yang ingin
mengambil dan membawanya pulang sebagai pembawa berkah.
Meski grebeg mulud telah berakhir, sekatenan ini masih
terus berlanjut hingga akhir bulan dengan adanya malam sekatenan di alun-alun
utara. Saat malam sekatenan ini alun-alun utara keraton disulap menjadi arena
bermain anak-anak. Berbagai wahana bermain anak-anak tersedia. Para penjaja
wahana ini berasal dari luar Solo. Tak hanya itu, mereka juga menyediakan
makanan khas tradisional seperti onde-onde, jenang, dan lainnya. Banyak juga
pedagang yang menjajakan gerabah serta pakaian. Malam sekaten ini menjadi
hiburan tersendiri bagi masyarakat sekitar.
Di Solo, tradisi Grebeg Mulud ini sudah menjadi agenda
rutin Pemkot Solo. Hampir setiap tahun acara ini selalu ada. Ribuan masyarakat
memadati kompleks sekaten mulai awal di buka hingga selesai. Jumlahnya semakin
meningkat saat puncak grebeg mulud.
2. Lebaran Topat (Suku Sasak)
Tradisi Lebaran Ketupat di Lombok udah berlangsung
turun-temurun semenjak ratusan tahun lalu, gaez. Selain
dianggap sebagai rangkaian kegiatan untuk merayakan Idul Fitri, acara itujuga
memiliki misi mempertahankan tradisi leluhur dan nenek moyang. Jika dikaji
lebih mendalam, akan dijumpai banyak nilai-nilai yang terkandung dalam Lebaran Nine
(wanita). Mulai dari nilai budaya, agama, hingga pesta kerakyatan.
Dari aspek agama misalnya, masyarakat / warga Sasak
melaksanakan Perayaan Lebaran Ketupat dengan melakukan kegiatan-kegiatan ritual
Keagamaan. Diantaranya adalah berziarah ke makam para wali /ulama terkenal yang
telah berjasa membawa agama Islam ke Pulau Lombok. Di Kota Mataram, masyarakat
biasanya akan datang merayakan Tradisi Lebaran Ketupat ke dua tempat
bersejarah, yaitu Makam Bintaro dan Makam Loang Baloq di Tanjung Karang.
Pada kegiatan perayaan Lebaran Ketupat, Makam Loang Baloq
yang berlokasi tepat di sebelah Pantai Tanjung Karang Mapak akan penuh sesak
oleh peziarah sejak pukul 07.00 pagi. Selain memanjatkan doa, mereka juga
berebutan untuk mencuci muka dan kepala dengan air di atas makam yang dianggap
keramat tersebut. Sama halnya dengan situasi yang berlangsung di Makam Bintaro,
dalam ziarah kubur, para peziarah sejatinya tidak hanya memanjatkan doa kepada
sang Khalik, namun juga melakukan berbagai macam ritual keagamaan dan atraksi
simbolik perayaan Tradisi Lebaran Ketupat. Diantaranya adalah mencukur rambut
bayi yang biasa disebut ngurisan. Tradisi ini diyakini akan
menjadikan anak tersebut anak yang saleh dan sukses di masa yang akan datang.
Tidak hanya sebatas itu, perayaan Lebaran Ketupat tersebut
juga disebut menjadi haul bagi mereka yang telah mencapai kesuksesan atau
rezeki yang lebih dalam hidupnya. Untuk mensyukuri nikmat Tuhan tersebut,
mereka datang dengan membawa perbekalan berupa makanan berupa ketupat, pelalah
ayam, daging, opor telur, pakis, paku, urap-urap, dan plecing kangkung yang
kemudian dimakan beramai-ramai di area / halaman makam.
Menurut penuturan budayawan Sasak, H. Lalu Anggawa
Nuraksi, dari aspek religius atau agama, Lebaran Topat mengandung makna bahwa
di hari itu umat Muslim membelah hati dari segala sifat buruknya. Belah ketupat
atau topat dianalogikan seperti membelah sebuah hati. “Sehingga orang Sasak
harus melakukan belah topat di makam para wali,” katanya.
Perkembangan saat ini khususnya di Lombok, perayaan
Lebaran Topat juga dikaitkan dengan kegiatan pariwisata atau pelesir. Pada saat
Lebaran Topat warga berbondong-bondong menyerbu tempat-tempat wisata. Setelah
selesai berziarah ke Makam, para pengunjung lalu berpindah ke jalur pantai,
mulai Pantai Bintaro hingga ke Pantai Tanjung Karang. Anggawa mengatakan
masyarakat boleh merayakannya dengan bersenang-senang asalkan tidak berlebihan.
“Setelah ke makam boleh ke pantai tapi tidak boleh bertentangan dengan norma agama
dan budaya,” ujarnya.
Menyusuri tepi pantai sambil membawa hidangan
ketupat yang diramu dan dibumbui dengan bahan-bahan segar ala Pulau Lombok
menjadikan tradisi Lebaran Ketupat ini menjadi terlihat unik, ditambah lagi
dengan berbagai pertunjukan musik tradisional yang diselenggarakan oleh
Pemerintah dalam rangka upaya pelestarian budaya dan Tradisi.
Dalam kepercayaan masyarakat Sasak, ketupat sebagai
hidangan wajib tidak boleh dibuka dengan menarik bungkus atau janurnya, tapi
harus dibelah menggunakan pisau. Jika tetap membuka jalinan janur dari ketupat
tersebut, orang Sasak bisa kepusaq (kesasar). Lebaran Topat juga bermakna
sebagai wujud rasa syukur. Dapat juga diartikan dengan melebarkan taubat.
Dituturkan Anggawa, konon dulu para wali yang melakukan syiar agama selalu
membawa ketupat sebagai bekal utama.
Tradisi Perang Topat yang diadakan di Pura terbesar di
Lombok (peninggalan kerajaan Karangasem) ini merupakan pencerminan dari
kerukunan umat beragama di Lombok. Prosesi Perang Topat dimulai dengan
mengelilingkan sesaji berupa makanan, buah, dan sejumlah hasil bumi sebagai
sarana persembahyangan dan prosesi ini didominasi masyarakat Sasak dan beberapa
tokoh umat Hindu yang ada di Lombok. Sarana persembahyangan seperti kebon odek,
sesaji ditempatkan didalam Pura Kemalik.
Prosesi kemudian dilanjutkan dengan perang topat,
bertepatan dengan gugur bunga waru atau dalam bahasa Sasaknya “rorok kembang
waru” yakni menjelang tenggelamnya sinar matahari sekitar pukul 17.30. Perang
topat merupakan rangkaian pelaksanaan upacara pujawali yaitu upacara sebagai
ungkapan rasa syukur umat manusia yang telah diberikan keselamatan, sekaligus
memohon berkah kepada Sang Pencipta.
Dalam perayaan Lebaran Topat di Lombok, Nusa Tenggara
Barat, kita dapat mengetahui bahwa perayaan tersebut mengandung dua dimensi
yaitu dimensi sakral dan sosial. Dimensi sakral berkaitan dengan persepsi dan
pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan dimensi sosial berkaitan dengan
upaya menjaga harmoni kehidupan antar sesama.
Penggunaan ungkapan Lebaran Nine atau lebaran wanita
terhadap Lebaran Topat menunjukkan bahwa Lebaran ini mempunyai posisi penting
dalam ekspresi keislaman masyarakat Lombok. Lebaran Topat adalah pasangan
Lebaran Mame (Idul Fitri). Oleh karena itu, perayaan Lebaran Topat agaknya
mempunyai tujuan yang sama dengan Lebaran puasa Ramadhan. Yaitu untuk mencapai
kehidupan yang fitri, suci.
Penggunaan ketupat yang berbentuk segi empat sebagai nama
Lebaran dan menu makan utamanya merupakan khasanah kearifan lokal masyarakat
untuk mengingatkan manusia terhadap asal muasalnya. Ketupat berbentuk segi
empat menunjukkan bahwa manusia terdiri dari air, tanah, api dan angin.
Lebaran Topat juga bisa diartikan menjauhkan diri dari
nafsu kebendaan dan membersihkan batin dari sikap dengki dan iri hati setelah
nuraninya terjerembab oleh ego dan kemeriahan budaya materi yang semu. Ritual
berseraup atau membasuh muka dengan air memberi makna bahwa tindakan tersebut
merupakan cara untuk membersihkan kotoran yang melekat di wajah. Jika wajah dan
hatinya bersih, maka orang itu tidak akan sakit baik secara fisik ataupun
mental.
Sumber referensi:
https://id.wikipedia.org/wiki/Maulid_Nabi_Muhammad#Perayaan_di_Indonesia
Well, udah dulu ya, gaez….. Begitulah sedikit bagian dari kekayaan kebudayaan di Indonesia. Terimakasih telah meluangkan waktu untuk membaca. Semoga bermanfaat. Ciaooo!
Wassalamu’alaikum wr. wb.
0 comments:
Post a Comment